BERITA
Menjalin Pematung Antargenerasi di Bali Pameran Patung ''Bali Indonesia Sculptors Association'' ''Bali Indonesia Sculptors Association'' (Biasa) menggelar pameran perdana seni patung pada 29 Agustus s.d. 10 September 2004 di Museum Patung Wayan Pendet, Nyuh Kuning, Ubud. Pameran bertajuk ''Jalinan Benang Merah Generasi Pematung di Bali'' ini dibuka oleh Prof. Dr. I Wayan Rai S., M.A., Rektor ISI Denpasar. Pameran ini menampilkan puluhan karya seniman patung Bali dan didukung beberapa pematung asing yang berada di Bali. KELOMPOK yang tergabung dalam ''Bali Indonesia Sculptors Association'' (Biasa) -- berdiri pada 22 Januari 2004 di Satria Art Gallery -- beranggotakan para pematung dari generasi 1960 dan 1970-an sampai dengan generasi muda dan mahasiswa. Awalnya adalah niat dari kelompok ini, ingin menyambung dan menjalin hubungan benang merah yang selama ini komunikasinya dianggap terputus. Menurut Tjok. Udiana Nindia, staf pengajar Program Studi Patung di ISI Denpasar, yang juga Ketua Harian kelompok Biasa ini, terdapat tiga generasi pematung di Bali yang perlu dipertemukan serta dipersatukan dalam bentuk asosiasi yang bersifat independen. "Di samping untuk memperkenalkan mereka lebih baik kepada khalayak," ujarnya. Lewat asosiasi Biasa ini, Tjok. Udiana juga berusaha mencarikan peluang-peluang pameran patung secara kongkret dan berkala di masa-masa mendatang. Menurutnya, di asosiasi ini hadir pula sebagai konsultan Mr. Johan Hensen dari Belanda, Mr. Roy Thompson dari Amerika Serikat, Yasco Kanehera dari Jepang, dan Gde Dananjaya Siadja yang pengusaha dan eksportir dari Ubud. "Kami ingin menjembatani para pematung di Bali memasuki dunia global," tambah Tjok. Udiana. Sekali lagi, menurut Tjok. Udiana, Biasa didirikan atas kesepakatan dan keinginan untuk bersatu melestarikan konsep dan nilai-nilai tradisi dalam menatap perkembangan seni patung ke depan. Konsep ini lalu dimatangkan oleh IB Alit dan I Made Suthedja sebagai pematung senior di Bali, I Made Yudha pencinta seni dan praktisi pariwisata, IB Putu Gde Sutama sebagai pencinta seni patung dan dosen Unud, IB Warsaka, IB Mahayana, dan I Wayan Jana seniman patung generasi muda, serta IGP Diarya Raditya mahasiswa jurusan seni patung di PSSRD Unud. Lantas, pada 2 Mei 2004 bertempat di Museum Patung I Wayan Pandet, Br. Nyuh Kuning Desa Mas, Ubud, Gianyar, pendirian Biasa ini mendapat dukungan luas sejumlah seniman. Di samping yang sudah disebutkan, ada lagi di antaranya I Ketut Muja (Singapadu), I Ketut Widia (Mas), I Nyoman Mawi (Nyuh Kuning), I Made Kakul (Nyuh Kuning), I Nyoman Rubig (Singapadu) mewakili generasi pematung tahun 1940-an. Kemudian ada I Ketut Muka Pendet (Nyuh Kuning), I Made Bratayasa (Payangan), Nyoman Sudarta (Kemenuh) mewakili generasi pematung tahun 1950-an. Pun I Wayan Budarma (Singapadu), I Made Sujana (Denpasar), dan IB Manik Kencana (Mas) mewakili generasi pematung tahun 1960-an dan 1970-an. Misi utama Biasa adalah setiap tahun mengadakan apresiasi terhadap karya-karya seni patung dalam bentuk pameran bersama. "Hal ini untuk membangkitkan minat memunculkan kreasi-kreasi karya baru dalam penciptaan patung di Bali yang tidak lepas dari pakem-pakem tradisi budaya Bali agar keajegan Bali yang harmonis dapat terwujud dengan baik," jelas Tjok. Udiana. *** Berbicara mengenai karya-karya patung yang digelar dalam pameran ini, tampaknya pematung Bali masih kuat dipengaruhi seni tradisi. Sebutlah mulai dari karya I Nyoman Rubig yang menampilkan patung "Kijang Terpanah", Made Sudiarta dengan "Durma", IGM Lod dengan "Bagawanta", I Wayan Ariana dengan "Pertarungan Ganesha dengan Niludraka", I Made Kisid dengan "Rama Sita dan Kijang", dan I Wayan Kencana dengan "Ganesha". Masih dalam pengaruh tradisi yang kuat, ada Tjok. Udiyana dengan patung "Kala", I Wayan Pugug dengan "Sita Kepundung'', I Made Suteja dengan "Dewa Ruci", I Made Sudarma dengan "Balinese Style", I Ketut Aryawungsu dengan "Topeng", Nyoman Sudiarta dengan "Kaliyuga", I Nyoman Mawi dengan "Babi Menyusui", Ni Wayan Simin dengan "Sang Budha", dan I Wayan Patra dengan "Kera" -- terutama dalam teknik sederhana seperti pemanfaatan teknik pahatan yang sebagian besar menggunakan bahan dengan berbagai jenis kayu dan batu padas. Dari keseluruhan karya yang ditampilkan, belum begitu tampak inovasi baru dalam hal teknologi dan belum bisa dikatakan spektakuler. Kreativitas baru sebatas mengubah bentuk dengan teknik sederhana, sebatas cakrawala tradisional Bali. Hal ini dapat dipahami sebagai langkah awal dan masih dalam rangka wacana ke depan yang harus digarap para pematung kelompok ini nantinya. Sebagian besar karya masih bertumpu dan bergantung pada bahan kayu, masih langka pemanfaatan metal, besi, dan bahan-bahan inovatif lainnya. Namun, ada sejumlah kecil pematung sudah mulai memanfaatkan resycling paper seperti terlihat pada karya Tjok. Udiana yang berjudul "Kala" dan pada karya I Wayan Gawiartha ("Rokmu Menyambut") yang memanfaatkan serbuk gergajian kayu. Lalu, Dewi Rani dan Ketut Muka memanfaatkan media tanah liat atau keramik sebagai bahan materialnya. Ada juga karya-karya yang bentuknya sudah lebih bebas seperti I Wayan Jana dalam "Bulging Fantasy". Lantas ada "Duri" karya Carola Vooges yang memperlihatkan kontradiksi dari ketajaman dengan kelembutan -- duri yang tidak berkesan tajam -- seperti kerang laut dengan tekstur halus. Pande Wayan Mataram menampilkan "Satu Kesatuan", kepekaan sosial ditampilkan oleh I Made Sukanta Wahyu dalam "Anak Cacat", dan Made Bratayasa dalam "Rungu" yang imajinatif. Imajinasi dari hubungan kasih sayang dan keintiman ditampilkan para pematung seperti IB Warsaka dalam "Ibu dan Anak", I Wayan Mudana dengan "Kasih Bunda", IK Putrayasa dengan "Kasih", IB Nyoman Mahayana dengan "Keindahan Cinta" dan I Made Rema dengan "Bermesraan". Ada patung yang menarik karya I Made Sujana sebagai kritik dari kehidupan kasih sayang yang berlebihan dengan judul "Satu Lobang Rame-rame" yang terbuat dari kayu buni. Di situ digambarkan, dalam satu batang kayu terdapat seolah-olah ada banyak bayi tersembul mau keluar dan kaki-kaki bayi di bagian bawah seolah akar-akar pohon. Inikah isyarat kenyataan bahwa kebebasan seksual masa kini sudah nyaris tanpa rambu-rambu keagamaan? *** Seni patung di Bali sepertinya sudah manjadi bagian penting perjalanan kesenian di Bali. Patung tradisional Bali ada yang berupa arca (pahatan dan relief) yang biasa dipergunakan dalam upacara keagamaan (pratima) dan disucikan (dipasupati) serta dikeramatkan. Ada juga yang tidak difungsikan untuk keagamaan, tetapi sebagai benda dekoratif atau hiasan dan benda yang bernilai ungkap atau sebagai benda wisata (suvenir) yang bernilai ekonomi. Pada proses pembuatan patung yang mengambil tokoh atau bentuk yang disakralkan dan menyangkut agama Hindu, tentu membuat para seniman harus ekstra hati-hati. Hal ini semata-mata agar di kemudian hari tidak menuai protes sebagaimana kasus-kasus "pelecehan" simbol-simbol agama yang terjadi belakangan ini. Sudut pandang setiap individu pematung memang bisa berbeda, tetapi perlu pedoman khusus dalam rangka pelestarian dan pengembangan budaya Bali. Perwujudannya perlu dibahas secara khusus. Sebetapa jauh, misalnya, perubahan makna dan fungsi serta simbolisnya yang diakibatkan perubahan zaman. Barangkali, ini bisa jadi salah satu tugas dari kelompok atau asosiasi Biasa. Patung sesungguhnya sudah memasyarakat di Bali. Terutama, pembuatan patung-patung tradisional yang dipasarkan di daerah kantong-kantong kunjungan wisata. Namun, pameran patung secara khusus -- harus diakui -- memang masih dirasakan langka, apalagi yang memperlihatkan seni patung kontemporer. Pameran patung yang digelar Biasa ini perlu dicatat sebagai sebagai suatu langkah awal yang bagus untuk menuju kesadaran baru dan tekad kebersamaan yang tumbuh dari pematung Bali. * agus mulyadi utomo/ gus martin |